Selasa, 02 September 2014
renungkanlah wahai guru
Renungan untuk Guru
GURU, dalam kamus kehidupan, adalah pemberi “senjata dasar” kehidupan
kita. Anda seorang pejabat,dosen, wartawan, pengusaha, maling atau
koruptor, yang menjadi melek segalasesuatu, pada awalnya berkat jasa
guru. Bahwa kreativitas dan jiwa inovator yangmembedakan perkembangan
individual, ya. Tapi, “ilmu” didapat dariguru.
Tidak eloknya, secara berjamaah, sadar atau tidak, kita tega nian
berpersepsi, memberi gambaran memilukan. Guru berbaju safari tua kusam,
bersepeda kumbang dengan kacamata tebal dan tas lusuh. Terpopuler
sebagai “Oemar Bakry”, karikaturis berbau penghinaan terhadap profesi
yang sangat mulia, Si Pendidik. Sepanjang sejarah republik ini, citra
guru adalah citra manusia yang terlantar dan ditelantarkan. Guru adalah
profesi yang tidak menjanjikan secara materialistis tetapi sangat
diperlukan.
Dalam kehidupan sehari-hari dengan sangat mudah kita jumpai pejabat,
tenaga administratif atau birokrat pendidikan yang “kerjanya” memudahkan
pekerjaan profesional guru dalam menunjang peningkatan kulitas
pendidikan, peningkatan sumberdaya manusia (SDM). Orang-orang yang
bertugas “membantu” pekerjaan guru. Tapi, kita lebih sering mendengar
dendangan nyanyian lagu-lagu indah meninibobokan guru, formal ataupun
informal, berkoor (seolah-olah) memperhatikan nasib guru.
Ditabalkan pula dengan organisasi semacam PGRI, hasilnya hanya satu:
Nasib guru tetap memprihatinkan. Pertanyaannya: apa hasil kerja
mereka-mereka yang langsung mampu memperbaiki nasib guru?. Guru tetap
saja dalam gambaran karikaturis “Oemar Bakry”. Guru kehidupannya
begitu-begitu saja, dan … masih saja mengantungkan nasibnya kepada
mereka-mereka yang sebenarnya tidak pernah berhasil memperjuangkan nasib
guru. Lalu, dimana letak kemampuan guru belajar dari kenyataan? Langkah
nyata apa yang dilakukan guru dalam memperbaiki kedudukan dan nasibnya?
Entahlah. Hanya para guru yang mampu menjawabnya.
“Membantai” Guru
Ketahuilah, keseluruhuan pejabat, pebisnis, orang berpunya, mereka yang
terhormat atau gila hormat, apalagi pengambil kebijakan tentang
pendidikan, birokrat pendidikan, menjadi pandai atau bisa mencapai
kedudukan sosial mapan, tidak terlepas dari jasa guru-gurunya. Dapat
dipastikan, pejabat, pengusaha, birokrat pendidikan atau siapa saja yang
bisa membaca, menulis, dan berhitung, menjadi pandai karena jasa guru.
Gurulah yang menjadikan seseorang menjadi orang melek, mengembangkan
potensi dirinya.
Cobalah renungkan untaian kata-kata saya berikut. Pernahkan Anda
mendatangi guru SD Anda yang dengan segala ketabahan, ketekunan dan
kesabaran menuntun mengeja huruf a, b, c dan seterusnya?. Memangnya Anda
bisa lancar menghitung angka 1, 2, 3, 4 atau merangkai huruf-huruf jadi
kata-kata, angka-angka berpangkat dan menghasilkan uang untuk
kesuksesan tanpa bantuan guru?. Pernahkan sowan ke Guru SD, SMP, SMU
atau mengunjungi sekolah tempat pian dididik hingga jadi orang pintar?
Anda tidak usah bercerita, membantu sekolah Anda dahulu, sebab kalau itu
dilakukan semua orang, pastilah sekolah-sekolah kita menjadi tempat
terbagus. Bukan tempat dimana bangunannya hampir roboh atau
lingkungannya memprihatinkan dengan fasilitas, sarana dan prasarana,
membuat air mata tidak ada artinya. Banyak orang hanya mengambil dari
guru dan sekolah, tidak kalau memberi. Bobroknya sarana dan prasarana
pendidikan, dipastikan karena memang kita kurang peduli.
Atau, coba renungkan, ketika seorang guru dengan kesederhanaan dan
keluguan mengurus KTP atau keperluan lannya, misalnya, Anda
bentak-bentak sembari meminta duit yang didapat dengan jerih payah
mengajar yang sangat sedikit?. Apakah Anda tidak akan dikutuk Allah SWT
manakala tega-teganya meminta sejumlah uang dengan berbagai alasan
ketika Sang Guru mengurus kenaikan pangkatnya? Sudah gajinya kecil,
jangankan dipermudah, tetapi justeru harus “dijebak” untuk membayar.
Adakah kira-kira manusia yang lebih kejam dari itu?. Kalau Anda pernah
melakukan hal-hal sedemikian, bertobatlah, sebelum Allah SWT mengambil
nyawa Anda.
Sekali lagi, coba renungkan, ketika Anda sudah jadi orang, apakah bos
tingkat rendah atau puncak, pegawai bank atau wartawan, birokrat
pendidikan, tamatan SD atau S3, atau maling sekalipun, pernahkah
mendatangi guru yang telah membuat Anda pintar? Pernahkan Anda datangi
sekolah tempat belajar dulu yang mungkin kini sudah hampir roboh?
Pernahkan membantu sekolah Anda tersebut setelah hidup berkelayakan?
Mungkin Anda telah mencapai jenjang akademis tertinggi atau mempunyai
rumah –-dua sampai empat— punya mobil, sering berseminar di hotel atau
melakukan kunjungan kerja di banyak kesempatan, sementara orang yang
membuat Anda pintar masih terseok-seok mengajar anak-anak atau cucu
Anda, masih berkehidupan seperti ketika mendidik Anda dulu. Apa yang
pernah Anda kontribusikan terhadap orang yang menjadikan Anda manusia
pintar?.
Kalau Anda tidak pernah bersilaturrahmi dengan guru SD, SMP, SMU atau
PT, tidak pernah membantu sekolah tempat belajar dulu, baik secara
pribadi, apalagi ketika Anda mempunyai kewenangan untuk berpihak kepada
guru dan pendidikan, ketika Tuan punya kewenangan tetapi justeru
mengambil keuntungan untuk menumpuk harta, maka jangan harap bangsa ini
akan maju. Peningkatan SDM akan menjadi retorika belaka.
Lebih fatal, jangan-jangan kalau kita berprilaku sedemikian, sadar atau
tidak, kita telah terjerembab menjadi manusia durhaka, manusia yang
tidak tahu berterima kasih, manusia yang lupa kacang pada kulit. Lebih
sadis, kalau kita mengabaikan guru, melecehkan ketika dia berurusan,
meminta duit ketika dia mengurus haknya atau mencelakan profesianya
dengan berbagai alasan, kita akan menjadi manusia terkutuk, manusia
“pembantai” guru. Naauzubillahi min zaliq.
Proyek Milyaran
Kebetulan, saya dipilih sebagai Ketua Komite di dua SD, SDN Jawa 2
Martapura dan SDN Sungai Besar 2 Banjarbaru. Di kedua sekolah tersebut,
saya pernah didatangi orang tua siswa sembari bersemangat 45 memberi
kuliah, ”Pak Ersis, guru-guru kita ini bagaimana? Tiap semester,
anak-anak kita disuruh membeli buku. Ini proyek guru. Tidak boleh
dibiarkan”.
Mula-mula saya telan saja kuliah bagus tersebut. Setelah melakukan riset
kecil-kecilan, memang ada guru yang menjual buku seharga Rp.30.000,00
(tiga puluh ribu). Dan … mendapat komisi 10% alias Rp.3.000,00 (tiga
ribu rupiah) per buku. Dikalikan 30 siswa, guru mendapat keuntungan
Rp.90.000,00 per semester. Uang sebegitu, memang bisa dibilang banyak
bisa pula dibilang sedikit.
Tapi, saya bilang, bagaimana kalau kita berjamaah saja menyumbang untuk
guru anak-anak kita secara ikhlas Rp.3.000,00 per semester, apa
salahnya? Terlalu berlebihan menuduh guru korupsi atau menyalahgunakan
kewenangan. Saya setuju itu tidak dibolehkan, tetapi harus ada
solusinya. Toh, di toko buku harganya juga segitu. Memberi untung toko
buku tidak keberatan, guru yang menjadikan anak sendiri pintar, ribut.
Apa-apaan.
Ketika saya katakan, “OK. Guru kita larang menjual buku, tapi … mari
kita membelikan buku-buku pelajaran yang disimpan di pustaka hingga
semua keperluan buku tersedia”. Ajaibnya, begitu gagasan itu saya
utarakan, tidak ada komentar lagi.
Lebih jauh, coba kita berpikir lebih rasional. Milyaran rupiah
dianggarkan Depdiknas untuk penyediaan buku-buku pelajaran di sekolah.
Pengusaha berebutan, birokrat pendidikan sibuk mengurusnya. Coba datangi
sekolah-sekolah, dari milyaran rupiah proyek pencetakan buku tersebut,
berapa biji sih yang ada di sekolah? Sangat sedikit. Kemana perginya?
Mana saya tahu, emangnya gue ngurusin.
Harusnya yang model begini yang dilawan, koran-koran “menghajar” hingga
yang menculasi pendidikan itu kapok. Setidaknya, dimengerti untuk apa
dan siapa, atau kemana saja sih distribusi proyek milyaran rupiah
tersebut. Guru-guru juga pada lucu deh, diam aja. Silent is golden, kali
ya.
Menangislah untuk Guru
Mengakhiri artikel ini, suatu kali, seselesai sholat malam, cobalah
luangkan waktu barang 10 menit untuk merenungi nasib guru, nasib
pendidikan kita. Mana tahu, urat malu kita tersentuh, bahwa selama ini
kita kurang peduli terhadap guru dan pendidikan. Kalau membeli rokok
Rp.7.000,00 per bungkus sehari, artinya sebulan Rp.210.000,00 tidak
keberatan, tapi kalau membayar iuran Komite Sekolah, Rp.20.000,00
sebulan, untuk membantu pendidikan anak-anak kita, kita gusar.
Alasan-alasan rasional dan bak pendekar Pedang Emas mengeluarkan
statemen hebat-hebat di koran, di warung kopi atau meja seminar, sembari
teriak nyaring-nyaring: “Pendidikan gratis”. Emangnya Tuhan menurunkan
uang dari langit untuk membiayai pendidikan.
Kalau melihat kekurangan di sekolah berbagai sumpah serapah dimuntahkan.
Komite Sekolah tidak becus, pemerintah pelit, tidak ada perhatian,
pejabat mencuekkan pendidikan (walaupun ada benarnya), tapi mbok ya,
kalau membeli empat ban mobil, anggap membeli lima, satu sumbangkan ke
sekolah. Kalau Dewan Pendidikan mau melakukan kunjungan kerja, jangan
mau ikut, biayanya sumbangkan ke sekolah.
Kalau Anda Anggota Dewan atau Kepala Bagian atau Kepala Dinas, bilang
sama pimpinan, “Pak tahun tahun ini saya ditugaskan ke Jakarta 3 kali
saja ya, yang sekali biayanya serahkan kepada sekolah”. Kalau sebulan
empat kali ke karaoke, ke salon atau main golf, ya kenapa garang kalau 3
kali saja, yang sekali sumbangkan ke sekolah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar