MAHA KARYA HARDIKNAS 2009

MAHA KARYA HARDIKNAS 2009
pembagian hadiah LCT se Kota Metro

Kamis, 27 Januari 2011

soal MBS

1. Mengapa reformasi pendidikan di Indonesia mengarah pada penerapan MBS apabila dikaitkan dengan otonomi daerah?
2. Salah satu alasan diterapkannya MBS adalah pemberian otonomi yang lebih besar kepada kepala sekolah. Dengan otonomi yang besar kepada kepala sekolah maka sekolah akan lebih inisiatif/ kreatif dalam meningkatkan mutu sekolah. Bagaimanakah cara sekolah memanfaatkan otonomi yang diberikan ini untuk mengembangkan mutu pendidikan?
3. Bagaimanakah sekolah mampu mengimplementasikan MBS untuk peningkatan mutu pendidkan di sekolah?
4. Bagaimanakah sekolah mampu memberdayakan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah?
5. Deskripsikan pendekatan PAIKEM dapat mendukung pelaksanaan pembelajaran yang bermutu di kelas?


1. Mengubah manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah merupakan proses yang panjang dan melibatkan banyak pihak. Perubahan ini memerlukan penyesuaian-penyesuaian, baik sistem atau struktur, kultur, maupun figur, dengan tuntutan-tuntutan baru manajemen pendidikan. Oleh karena itu, kita tidak bermimpi bahwa perubahan ini akan berlangsung sekali jadi dengan hasil yang langsung baik. Dengan demikian, fleksibilitas, eksperimentasi, dan cara berpikir komprehensif yang menghasilkan kemungkinan-kemungkinan baru dalam penyelenggaraan manajemen berbasis sekolah perlu didorong. Dengan kata lain, sistem manajemen pendidikan yang sentralistis telah terbukti tidak membawa kemajuan yang berarti bagi peningkatan kualitas pendidikan pada umumnya. Seiring dengan bergulirnya era otonomi daerah, terbukalah peluang untuk melakukan reorientasi paradigma pendidikan menuju ke arah desentralisasi system pengelolaan pendidikan. Peluang tersebut semakin tampak nyata setelah dikeluarkannya kebijakan mengenai otonomi pendidikan melalui strategi pemberlakuan manajemen berbasis sekolah (MBS). Kebijakan MBS bukan sekedar mengubah pendekatan sistem pengelolaan sekolah dari yang sentralistis ke desentralistis, tetapi lebih dari itu melalui MBS diyakini akan muncul kemandirian sekolah. Perubahan dalam manajemen pendidikan disebabkan oleh lemahnya pola lama manajemen pendidikan nasional yang selama ini bersifat sentralistik. Otonomi daerah telah mendorong dilakukannya penyesuaian diri dari pola lama menuju pola baru manajemen pendidikan masa depan yang lebih bernuansa otonomi dan yang lebih demokratis. Kebijakan ini diterapkan pemerintah dalam kerangka meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Salah satu bentuk kebijakan itu adalah perubahan dalam manajemen pendidikan. Terdapat perbedaan yang mendasar antara pola lama dengan pola baru manajemen pendidikan. Pada pola lama manajemen pendidikan, tugas dan fungsi
sekolah lebih pada melaksanakan program daripada mengambil inisiatif merumuskan dan melaksanakan program peningkatan mutu yang dibuat sendiri oleh sekolah. Sementara itu, pada pola baru manajemen pendidikan sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolaan lembaganya, pengambilan keputusan dilakukan secara partisipatif dan partsisipasi masyarakat makin besar,
sekolah lebih luwes dalam mengelola lembaganya, pendekatan profesionalisme lebih diutamakan daripada pendekatan birokrasi, pengelolaan sekolah lebih desentralistik, perubahan sekolah lebih didorong oleh motivasi-diri sekolah daripada diatur dari luar sekolah, regulasi pendidikan lebih sederhana, peranan pusat bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi dan dari mengarahkan ke memfasilitasi, dari menghindari resiko menjadi mengolah resiko, penggunaan uang lebih efisien karena sisa anggaran tahun ini dapat digunakan untuk anggaran tahun depan (efficiency-based budgeting), lebih mengutamakan teamwork, informasi terbagi ke semua warga sekolah, lebih mengutamakan pemberdayaan, dan struktur organisasi lebih datar sehingga lebih efisien.


2. Dalam Pasal 12 ayat 1 PP 28 tahun 1990 bahwa : ”Kepala sekolah bertanggung jawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan, administrasi sekolah, pembinaan tenaga kependidikan lainnya, dan pendayagunaan serta pemeliharaan sasarana dan prasarana”. Maka kepala sekolah merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan maka dalam tinjauan kinerja kepala sekolah perlunya adanya pemikiran tentang upaya-upaya strategis peningkatan mutu pendidikan khususnya pada jejang sekolah dasar. Otonomi dapat diartikan sebagai kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri (pengelolaan mandiri). Dalam hal prinsip pengelolaan mandiri dibedakan dari pandangan yang menganggap sekolah hanya sebagai satuan organisasi pelaksana yang hanya melaksanakan segala sesuatu berdasarkan pengarahan, petunjuk, dan instruksi dari atas atau dari luar. Kemandirian dalam program dan pendanaan merupakan tolok ukur utama kemandirian sekolah. Istilah otonomi juga sama dengan istilah “swa”, misalnya
swasembada, swakelola, swadana, swakarya, dan swalayan. Jadi otonomi sekolah
adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan,yaitu kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, serta kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri. Fleksibilitas dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumber daya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan sekolah yang lebih besar, sekolah akan lebih lincah dan tidak harusmenunggu arahan dari atasannya untuk mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumber daya. Peningkatan partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik. Warga sekolah (guru, siswa, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dan sebagainya) didorong untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Hal inidilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangkutan akan mempunyai “rasamemiliki” terhadap sekolah, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi dalam mencapai tujuan sekolah. Singkatnya,makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab, dan makin besar rasa tanggungjawab, makin besar pula dedikasinya. Tentu saja pelibatan warga sekolah dalam penyelenggaraan sekolah harus mempertimbangkan keahlian, batas kewenangan, dan relevansinya dengan tujuan partisipasi. maka sekolah memiliki kewenangan(kemandirian) lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu),memiliki fleksibilitas pengelolaan sumber daya sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah. Menurut Nurkholis (2003:52) terdapat empat prinsip untuk mengelola sekolah dengan menggunakan MBS, yaitu prinsip ekuifinalitas, prinsip desentralisasi, prinsip sistem pengelolaan mandiri, dan prinsip inisiatif sumber daya manusia


3. Nurkholis (2003:132) mengemukakan sembilan strategi keberhasilan implementasi MBS. Pertama, sekolah harus memiliki otonomi terhadap empat hal, yaitu dimilikinya otonomi dalam kekuasaan dan kewenangan, pengembangan
pengetahuan dan ketrampilan secara berkesinambungan, akses informasi ke segala bagian, serta pemberian penghargaan kepada setiap pihak yang berhasil. Mulyasa (2005: 41) menyatakan bahwa salah satu bentuk otonomi sekolah adalah kebijakan pengembangan kurikulum yang mengacu kepada standar kompetensi, kompetensi dasar, dan standar isi, serta pembelajaran beserta sistem evaluasinya, sepenuhnya menjadi wewenang sekolah, yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan masyarakat yang dilakukan secara fleksibel. Dengan demikian, otonomi sekolah yang dilakukan secara benar dalam kerangka implementasi MBS diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Kedua, adanya peran serta masyarakat secara aktif dalam hal pembiayaan, proses pengambilan keputusan terhadap kurikulum dan pembelajaran dan non- pembelajaran. Menurutnya, sekolah harus lebih banyak mengajak lingkungan dalam mengelola sekolah karena bagaimanapun sekolah adalah bagian dari masyarakat secara luas. Wujud dari partisipasi masyarakat dan orang tua siswa bukan hanya sebatas dalam bantuan dana, tetapi lebih dari itu dalam memikirkan peningkatan kualitas sekolah. Ketiga, adanya kepemimpinan sekolah yang kuat sehingga mampu menggerakkan dan mendayagunakan setiap sumber daya sekolah secara efektif. Kepala sekolah harus menjadi sumber inspirasi atas pembangunan dan pengembangan sekolah secara umum. Dalam MBS kepala sekolah berperan sebagai designer, motivator, fasilitator, dan liaison. Oleh karena itu, pengangkatan kepala sekolah harus didasarkan atas kemampuan manajerial dan kepemimpinan, dan bukan lagi didasarkan atas jenjang kepangkatan. Menurut Mulyasa (2005:98), Kepala Sekolah merupakan “sosok kunci” (the key person) keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah dalam kerangka implementasi MBS. Oleh karena itu, dalam implementasi MBS kepala sekolah harus memiliki visi, misi, dan wawasan yang luas tentang sekolah yang efektif serta kemampuan profesional dalam mewujudkannya melalui perencanaan, kepemimpinan, manajerial, dan supervisi pendidikan. Kepala sekolah juga dituntut untuk menjalin kerjasama yang harmonis dengan berbagai pihak yang terkait dengan program pendidikan di sekolah. Singkatnya, dalam implementasi MBS, kepala sekolah harus mempu berperan sebagai educator, manajer, administrator, supervisor, leader, innovator dan motivator. Keempat, adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam kehidupan dewan sekolah yang efektif. Dalam pengambilan keputusan kepala sekolah harus mengembangkan iklim demokratis dan memperhatikan aspirasi dari bawah. Konsumen yang harus dilayani kepala sekolah adalah murid dan orangtuanya, serta masyarakat dan para guru. Kelima, semua pihak harus memahami peran dan tanggung jawabnya secara sungguh-sungguh. Untuk bisa memahami peran dan tanggung jawabnya masing-masing harus ada sosialisasi tentang konsep MBS. Keenam, adanya panduan (guidelines) dari Departeman Pendidikan terkait sehingga mampu mendorong proses pendidikan di sekolah secara efisien dan efektif. Dengan dasar hukum pelaksanaan MBS yang tertuang adalam UU No. 25 Tahun 2000, dan UU No. 20 Tahun 2003, Departemen Pendidikan diharapkan memberikan panduan sebagai rambu-rambu dalam pelaksanaan MBS yang sifatnya tidak mengekang dan membelenggu sekolah. Ketujuh, sekolah harus transparan dan akuntabel yang minimal diwujudkan dalam laporan pertanggungjawaban tahunan. Akuntabilitas sebagai bentuk pertanggung jawaban sekolah terhadap semua stakeholder. Untuk itu, sekolah harus dikelola secara transparan, demokratis, dan terbuka terhadap segala bidang yang dijalankan dan kepada setiap pihak terkait. Kedelapan, penerapan MBS harus diarahkan untuk pencapaian kinerja sekolah, khususnya pada peningkatan prestasi belajar siswa. Kesembilan, implementasi diawali dengan sosialisasi konsep MBS, identifikasi peran masing-masing, pembangunan kelembagaan (capacity building), pengadaan pelatihan-pelatihan terhadap peran barunya, implementasi pada prosespembelajaran, monitoring dan evaluasi, serta melakukan perbaikan-perbaikan. Menurut Nurkholis (2003:264), ada enam faktor pendukung keberhasilan implementasi MBS. Keenamnya mencakup: political will, finansial, sumber daya manusia, budaya sekolah, kepemimpinan, dan keorganisasian. Sumber daya manusia merupakan faktor yang sangat penting dalam mendukung keberhasilan implementasi MBS. Ketersedian sumber daya manusia yang mendukung implementasi MBS belum cukup. Faktor budaya sekolah rata-rata belum bisa mendukung kesuksesan implementasi MBS. Perubahan dari budaya sekolah yang telah lama terbentuk dengan manajemen pendidikan yang sentralistik menuju manajemen pendidikan yang sentralistik masih sulit dilaksanakan. Budaya yang hanya melaksanakan apa yang ditetapkan pusat masih melekat pada sebagian besar sekolah. Masih banyak warga sekolah yang tidak perduli terhadap kemajuan sekolahnya. Oleh karena itu, perlu dibangun budaya sekolah yang mendukung implementasi MBS, seperti budaya untuk maju, bekerja keras, inovatif, dan sebagainya untuk mencapai peningkatan mutu sekolah. Kepemimpinan dan organisasi yang efektif merupakan faktor penting lainnya untuk keberhasilan implementasi MBS. Kepemimpinan yang efektif tercapai apabila kepala sekolah memiliki kemampuan profesional di bidangnya, memiliki bakat atau sifat, serta memahami kondisi lingkungan sekolah dalam menerapkan kepemimpinannya. Kepala sekolah yang efektif adalah kepala sekolah yang mampu berperan sebagai educator, manajer, administrator, supervisor, leader, innovator dan motivator. Dari segi indikator aspek peningkatan mutu, keberhasilan implementasi MBS apat dilihat dari meningkatnya prestasi akademik maupun nonakademik Sedangkan indikator tata layanan pendidikan ditunjukkan oleh sejauh mana peningkatan layanan pendidikan di sekolah itu terjadi. Layanan yang lebih baik kepada siswa melalui pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan kondisi sekolah, akan menyebabkan proses pembelajaran akan menjadi lebih efektif, serta siswa pun menjadi lebih aktif dan kreatif karena mereka berada dalam lingkungan belajar yang menyenangkan. Tata layanan pendidikan yang berkualitas mengakibatkan prestasi siswa juga meningkat, baik dari aspek akademik maupun nonakademik. Dampak positif lainnya dari tata layanan pendidikan yang berkualitas ialah menurunnya jumlah siswa mengulang kelas atau yang drop-out. Menurut Wohlstetter dan Mohrman, dkk. (1997), terdapat empat kewenangan (otonomi) dan tiga prasyarat yang bersifat organisasional yang seharusnya dimiliki sekolah dalam mengimplementasikan MBS. Hal itu berkaitan dengan: (1) kekuasaan (power) untuk mengambil keputusan, (2) pengetahuan dan keterampilan, termasuk untuk mengambil keputusan yang baik dan pengelolaan secara profesional, (3) informasi yang diperlukan oleh sekolah untuk mengambil keputusan, (4) penghargaan atas prestasi (reward), (5) panduan instruksional (pembelajaran), seperti rumusan visi dan misi sekolah yang menfokuskan pada peningkatan mutu pembelajaran, (6) kepemimpinan yang mengupayakan kekompakan (kohesif) dan fokus pada upaya perbaikan atau perubahan, serta (7) sumber daya yang mendukung. penerapan MBS di sekolah juga hendaknya memperhatikan karakteristik dari MBS, baik dilihat dari aspek input, proses dan output. Pemahaman terhadap prinsip MBS dan karaketeristik MBS akan membawa sekolah kepada penerapan MBS yang lebih baik. Pada akhirnya mutu pendidikan yang diharapkan dapat tercapai dan dipertanggungjawabkan, karena pelaksanaannya dilakukan secara partisipatif, transparan, dan akuntabel Indikator-indikator tersebut dapat dilihat dari 3 pilar kebijakan pendidikan nasional yaitu pemerataan dan peningkatan akses, peningkatan mutu dan daya saing, serta tata layana pendidikan yang lebih baik. Berdasarkan ketiga pilar tersebut, indikator-indikator keberhasilan implementasi MBS dapat dilihat dari semakin meningkat dan membaiknya: (1) jumlah siswa yang mendapat layanan pendidikan, (2) kualitas layanan pendidikan (seperti pembelajaran), yang berdampak pada peningkatan prestasi akademik dan non akademik siswa dan jumlah siswa yang tingkat tinggal kelas menurun, (4) produktivitas sekolah (efektivitas dan efisiensi penggunaan sumber daya), (5) relevansi pendidikan, (6) keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan, (7) partisipasi orang tua dan masyarakat dalam pengambilan keputusan, (8) iklim dan budaya kerja sekolah, (9) kesejahteraan guru dan staf sekolah, serta (10); demokratisasi dalam penyelenggaraan pendidikan.

4. Profesionalisme guru merupakan tujuan dari pembinaan ketenagaan untuk dapat menjawab segala tantangan dan perubahan sosial yang terjadi. Secara teoretis, karakteristik profesi meliputi (1) kemampuan intelektual yang diperoleh melalui pendidikan akademik, (2) memiliki pengetahuan khusus, (3) memiliki pengetahuan praktis yang langsung dapat digunakan oleh orang lain, (4) memiliki teknik kerja yang dapat dikomunikasikan, (5) memiliki kapasitas mengorganisasikan kerja secara mandiri, dan (6) altruisme yaitu mementingkan kepentingan orang lain, serta (7) memiliki etik. Menurut Undang-undang RI nomor 20 Tahun 2003, Tenaga Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Pendidik mempunyai dua arti, yaitu arti yang luas dan arti yang sempit. Dalam arti luas, seorang pendidik adalah semua orang yang berkewajiban membina peserta didik. Dalam arti sempit, pendidik adala orang yang dengan sengaja dipersiapkan menjadi guru atau dosen. Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbing-an dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Pendidik bertugas menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis. Untuk itu, pendidik harus memiliki komitmen profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sebagai pendidik ia harus memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan, sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Tugasnya ialah melaksanakan pengawasan dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada suatu satuan pendidikan. Seperti halnya tenaga pendidik, tenaga kependidikan juga berkewajiban untuk membantu menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis. Ia pun harus harus dapat menjadi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan, sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Guru dan dosen adalah jabatan profesional, sebab mereka mendapatkan tujangan prefoseional. Untuk memperkuat keprofesionalitasannya, seorang pendidik (Pidarta, 1997) perlu: (1) memiliki sikap suka belajar, (2) mengetahui cara belajar, (3) memiliki rasa percaya diri, (4) mencintai prestasi tinggi, (5) memiliki etos kerja produktif dan kreatif, serta (6) puas terhadap kesuksesan yang dicapai dan berusaha meningkatkannyaSeorang pendidik harus senantiasa mengembangkan kinerjanya secara konsisten dan berkelanjutan mengingat peranannya sebagai: (1) manajer pendidikan atau pengorganisasi kurikulum, (2) fasilitator pendidikan, (3) pelaksana pendidikan, (4) pembimbing atau supervisor para siswa, (5) penegak disiplin siswa, (6) model perilaku yang akan ditiru siswa, (7) konselor, (8) evaluator, (9) petugas tata usaha kelas, (10) komunikator dengan orang tua siswa dan masyarakat, (11) pengajar untuk meningkatkan profesi secara berkelanjutan, serta anggota profesi pendidikan. (Pidarta, 1997). Pemderdayaan itu dapat dilakukan melalui peningkatan moral, etika kerja, motivasi, jaminan sosial, sikap, disiplin, kesehatan, kesempatan berprestasi dan berkarier, lingkungan dan suasana kerja, hubungan antarpersonal di sekolah, penguasaan teknologi berbasis IT, kepuasan kerja, kebijakan pemerintah, besarnya pendapatan, serta sarana untuk berkembang. pada dasarnya upaya memberdayakan kinerja tenaga pendidik dalam konteks MBS adalah melalui koodinasi dan komunikasi. Koordinasi yang dilakukan kepala sekolah dengan para guru dan masyarakat dapat secara vertikal, horisontal, fungsional dan diagonal. Koordinasi dapat juga dilakukan secara internal dan eksternal, dan secara terus menerus sebagai langkah konsolidasi dalam memperkuat kelembagaan untuk mencapai tujuan. Contohnya, mengadakan pertemuan informal dengan para pejabat, mengadakan rapat baik rapat koordinasi antara kepala sekolah dengan guru, dengan komite sekolah, maupun dengan orangtua siswa. Pada dasarnya ada tiga kegiatan penting yang diperlukan pendidik untuk meningkatkan kualitas sehingga dapat meningkatkan pangkatnya sampai pada jenjang kepangkatan tertinggi. Pertama, memperbanyak tukar pikiran tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman mengembangkan materi pembelajaran dan berinteraksi dengan peserta didik. Tukar informasi ini bisa dilakukan melalui KKG dan kegiatan ilmiah dengan topik bersifat aplikatif. Kedua, melakukan penelitian misalnya melalui Penelitian Tindakan (Action Research) dan sosialisasi hasil penelitian dalam pertemuan ilmiah. Ketiga, membiasakan diri mengkomunikasikan hasil penelitian yang dilakukan melalui media cetak agar dapat diakses secara luas. Dalam kaitannya dengan MBS, faktor-faktor tersebut apabila dikelola dengan manajemen berbasis masyarakat dan sekolah akan dapat memberikan peluang untuk mencapai produktivitas yang tinggi. Oleh sebab itu, untuk mendorong sekolah yang produktif, efektif dan efisien, pemberdayaan kinerja tenaga kependidikan harus selalu diperhatikan.

5. Pembelajaran adalah usaha sadar dari seorang guru untuk membelajarkan peserta didiknya (mengarahkan interaksi peserta didik dengan sumber belajar lainnya) dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. Pembelajaran merupakan salah satu unsur penentu baik tidaknya lulusan yang dihasilkan oleh suatu sistem pendidikan yang diibaratkan sebagai jantung dari keseluruhan proses pembelajaran. Pembelajaran yang baik cenderung menghasilkan lulusan dengan hasil belajar yang baik pula. PAIKEM adalah sebuah istilah untuk menggambarkan sebuah proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Disebut demikian karena pembelajaran ini dirancang agar mengaktifkan peserta didik, menumbuhkan inovasi-inovasi baru, mengembangkan kreativitas sehingga proses pembelajaran efektif dalam suasana menyenangkan. Pembelajaran aktif dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga peserta didik aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Belajar memang merupakan suatu proses aktif dari si pembelajar dalam membangun pengetahuannya, bukan proses pasif yang hanya menerima kucuran informasi atau pengetahuan dari guru belaka. Jika pembelajaran tidak memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berperan aktif, maka pembelajaran tersebut bertentangan dengan hakikat belajar. Peran aktif dari peserta didik sangat penting dalam rangka pembentukan generasi yang kreatif, yang mampu menghasilkan sesuatu untuk kepentingan dirinya dan orang lain. Aktif di sini bersifat fisik maupun mental. Artinya, aktif dalam mengemukakan penalaran (alasan), menemukan kaitan yang satu dengan yang lain, mengkomunikasikan ide/gagasan, mengemukakan bentuk representasi yang tepat, dan menggunakan semua itu untuk memecahkan masalah. Pembelajaran inovasi dimaksudkan agar guru menciptakan suatu kegiatan belajar yang berbeda yaitu dengan penemuan-penemuan baru tentang pembelajran sehingga siswa diberikan pengetahuan yang baru. Pembelajaran kreatif dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan peserta didik, juga siswa dapat menjadi kreatif dalam proses pembelajarannya. Artinya, siswa kreatif dalam memahami masalah, menemukan ide yang terkait, mempresentasikan dalam bentuk lain yang lebih mudah diterima, dan menemukan kesenjangan yang harus diisi untuk memecahkan masalah. Pembelajaran menyenangkan adalah suatu pembelajaran yang mempunyai suasana yang mengasyikkan sehingga perhatian peserta didik terpusat secara penuh pada belajar sehingga waktu curah perhatiannya (“time on task”) tinggi. Menurut hasil penelitian, tingginya waktu curah perhatian terbukti meningkatkan hasil belajar. Keadaan aktif dan menyenangkan tidaklah cukup jika proses pembelajaran tidak efektif. Maksudnya, tidak menghasilkan apa yang harus dikuasai peserta didik (kompetensi) setelah proses pembelajaran berlangsung, sebab pembelajaran memiliki sejumlah tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Jika pembelajaran hanya aktif dan menyenangkan tetapi tidak efektif, maka pembelajaran tersebut tak ubahnya seperti bermain. Jadi, efektif artinya berhasil mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan. Pembelajaran efektif hanya dapat terjadi apabila guru mampu berkomunikasi secara efektif. Hunt (1999:62) menyatakan bahwa terdapat 4 unsur pokok dalam komunikasi yaitu pesan, sasaran komunikasi, sumber, dan media. Pesan adalah bahan ajar yang akan disampaikan, instruksi-instruksi untuk pelaksanaan proses pembelajaran, tugas-tugas, dan rencana-renanca kegiatan lainnya. Sasaran adalah siswa. Sumber pesan adalah guru, dan media komunikasinya adalah bahasa, simbol, atau alat pembelajaran yang digunakan untuk menyampaikan pesan. Dalam konteks pembelajaran aktif, guru bukan sumber utama dalam pembelajaran, melainkan lebih sebagai fasilitator yang mengantarkan siswa untuk mencapai kompetensinya dengan menggunakan berbagai sumber yang ada, dengan menggunakan komunikasi yang efektif, baik secara verbal maupun non verbal. Pada pendekatan PAIKEM, peran guru sangat penting. Guru dapat berfungsi sebagai fasilitator, motivator, dan pencipta suasana yang aktif, kreatif, efektif dan juga menyenangkan. Guru aktif memantau kegiatan belajar siswa, memberi umpan balik, mengajukan pertanyaan yang menantang, mempertanyakan gagasan siswa. Jika kondisi ini terjadi, maka siswa akan bisa menjadi aktif. Artinya, siswa dapat secara aktif membangun konsep, bertanya, bekerja, terlibat, dan berpartisipasi, menemukan dan memecahkan masalah, mengemukakan gagasan dan mempertanyakan gagasan. Di samping itu, guru harus kreatif, artinya guru dapat mengembangkan kegiatan yang menarik dan beragam, membuat alat bantu belajar, memanfaatkan lingkungan, mengelola kelas dan sumber belajar untuk mencapai hasil belajar yang diinginkan. Guru harus mengembangkan suatu proses pembelajaran yang efektif, yaitu pembelajaran yang dilakukan untuk mencapai tujuan pembelajaran yaitu terapainya kompetensi siswa. Pembelajaran menyenangkan adalah kegiatan belajar yang menarik, menantang, meningkatkan motivasi peserta didik, mendapatkan pengalaman secara langsung, meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah, serta tidak membuat peserta didik takut. Peserta didik senang belajar berarti mengkondisikan peserta didik untuk berani mencoba/berbuat, berani bertanya, berani mengemukakan pendapat/ gagasan, berani mempertanyakan gagasan orang lain, sebagaimana empat pilar pendidikan yang dicanangkan UNESCO. Menurut UNESCO, pembelajaran harus berorientasi pada “learning to know, learning to do, learning to be dan learning to live together”. Pembelajaran yang menyenangkan bukan semata-mata pembelajaran yang menjadikan siswa tertawa terbahak-bahak, melainkan sebuah pembelajaran yang di dalamnya terdapat kohesi yang kuat antara guru dan peserta didik dalam suasana yang sama sekali tidak ada tekanan, baik fisik maupun psikologis. Jika pembelajaran berada dalam kondisi tekanan, maka akan mengerdilkan pikiran siswa, sedangkan kebebasan apapun wujudnya akan dapat mendorong terciptanya iklim pembelajaran (learning climate) yang kondusif. PAIKEM mengambarkan: (a) keterlibatan peserta didik dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka dengan penekanan pada belajar melalui berbuat; (b) penggunaan berbagai alat bantu dan berbagai cara dalam membangkitkan semangat, termasuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan pembelajaran menarik, menyenangkan, dan cocok bagi peserta didik; (c) pengaturan kelas yang menyediakan buku-buku dan bahan belajar yang menarik dan ‘pojok baca’; (d) penerapan strategi pembelajaran yang lebih kooperatif dan interaktif, termasuk cara belajar kelompok; (e) pemicuan peserta didik untuk menemukan sendiri cara memecahkan suatu masalah, mengungkapkan gagasan, dan menciptakan lingkungan sekolah. Keberhasilan pelaksanaan PAIKEM di sekolah dipengaruhi oleh berbagai komponen, di antaranya: guru, kepala sekolah, orang tua siswa, komite sekolah, masyarakat, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Departemen Pendidikan Nasional. Keseluruhan komponen pendukung tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda berdasarkan tugas dan fungsinya, akan tetapi antarpelbagai komponen itu memiliki keterkaitan yang sangat erat. Artinya, dukungan mereka merupakan dukungan integral yang seharusnya dilakukan agar peningkatan mutu pembelajaran di sekolah dapat tercapai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar